Oleh: Kurniawan Arif Maspul
Krisis di Xinjiang, Dimana lebih dari 1 juta warga Uyghur mengalami penahanan massal, kerja paksa, dan genosida budaya, merupakan salah satu tantangan paling besar bagi penegakan hak asasi manusia pada zaman kita sekarang. Sebagai salah satu negara berpenduduk Muslim mayoritas dan demokrasi, Indonesia memiliki kewajiban moral dan kepentingan strategis untuk merespon isu ini.
Dalam beberapa tahun ke depan, kita akan menyaksikan apakah kekuatan regional seperti Indonesia akan berperan dalam membangun tatanan-berbasis aturan yang memperjuangkan hak-hak minoritas atau justru mengorbankan aspek moralitas demi kepentingan geopolitik.
Sementara negara-negara Barat demokratis telah menyampaikan kecaman, menjatuhkan sanksi dan mengesahkan regulasi, misalnya Amerika Serikat yang telah mensahkan UU Anti Pekerja Paksa Uyghur, Sebagian besar negara Muslim, termasuk Indonesia, memilih untuk diam terhadap nasib buruk yang dialami warga Uyghur. Dalam proses pemungutan suara Dewan HAM PBB yang diselenggarakan pada Oktober 2022, Indonesia bahkan berpihak pada China yang menolak untuk membahas isu Uyghur di forum tersebut. Langkah ini mengancam reputasi Indonesia sebagai negara pluralis, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan bisa saja membuatnya terasingkan dari masyarakat Muslim global yang semakin sadar terhadap prinsip-prinsip perjuangan hak asasi manusia.
Sikap diam ini memiliki dampak besar. Represi China terhadap Uyghur bukan hanya sekedar persoalan bilateral; hal ini merupakan ancaman terhadap prinsip dasar hukum internasional, kebebasan beragama, dan hak-hak buruh. Lebih jauh lagi, sistem kerja paksa di Xinjiang juga terkait erat dengan rantai pasokan global untuk komoditas tekstil, panel surya, dan pertanian, termasuk beberapa sektor vital dalam perdagangan ekspor-impor Indonesia. Seiring dengan semakin ketatnya regulasi internasional perusahaan-perusahaan Indonesia mengalami ancaman reputasi dan akses terhadap pasar global jika terbukti terlibat dalam rantai pasokan global yang melibatkan sistem kerja paksa Uyghur tersebut.
Ke depan, Indonesia sebaiknya bersikap lebih proaktif dalam isu Uyghur. Sebagai anggota dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan negara berpengaruh di kawasan ASEAN, Indonesia memiliki posisi diplomatik yang strategis. Indonesia bisa mendorong ASEAN-OKI untuk menyerukan pembentukan komisi pencari fakta PBB di Xinjiang. Langkah ini tidak hanya akan memulihkan kembali solidaritas di dunia Islam tetapi juga meningkatkan kembali kredibilitas ASEAN dalam memperjuangkan hak asasi universal di tengah turunnya tingkat kepercayaan publik regional terhadap lembaga tersebut.
Di dalam negeri, Indonesia juga bisa melakukan beberapa langkah. Menteri Luar Negeri bisa memberlakukan kuota visa kemanusiaan bagi pengungsi dan pelajar Uyghur, sekaligus menyediakan setidaknya 500 kuota tempat tinggal dan beasiswa di beberapa universitas terkemuka. Hal ini bukan hanya merupakan investasi moral tetapi juga merupakan investasi soft-power. Organisasi-organisasi masyarakat sipil, yang telah aksi dan menyatakan sikapnya, perlu diberikan dana untuk terlibat dalam pelestarian kebudayaan Uyghur dan program-program di ruang digital.
Otoritas perdagangan Indonesia juga harus mewajibkan penegakan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam aspek perdagangan minyak kelapa sawit, tekstil, dan pertambangan, yang mengacu pada regulasi internasional. Langkah ini tidak hanya sesuai dengan standar global, tetapi juga akan melindungi para penguasa Indonesia dari sanksi-sanksi di kemudian hari, yang menarget komoditas yang terkait dengan sistem kerja paksa.
Para pemuka agama juga memiliki peran penting. MUI dan NU harus mengeluarkan fatwa yang mengecam kebijakan penahanan sewenang-wenang terhadap warga Uyghur dan asimilasi paksa warga Uyghur ke dalam masyarakat Han. Secara historis, diplomasi keagamaan merupakan aset paling efektif bagi Indonesia, misalnya dalam isu Palestina dan Rohingya.
Di bidang akademik, Indonesia dapat menginisiasi terbentuknya jaringan peneliti-akademisi Asia-Uyghur, yang mampu menghubungkan kampus-kampus untuk melakukan riset kolaboratif dan dialog kebijakan. Langkah ini bisa membuat sejarah dan identitas Uyghur tetap ‘hidup’ dalam wacana akademik, sebagai usaha untuk melawan penghapusan budaya.
Akhirnya, semua upaya di atas merupakan usaha untuk memperjuangkan hukum dan martabat manusia. Dalam sejarahnya, berbagai bangsa tidak hanya dinilai berdasarkan tingkat kesejahteraan ataupun aliansinya, tetapi juga dinilai dari sikap mereka ketika terjadi ketidakadilan. Seiring dengan semakin banyaknya fakta-fakta terungkap di Xinjiang, Indonesia berada dalam ujian moral.
Sikap diam hanya memberikan kenyamanan politik sesaat, tetapi akan merusakan kredibilitas moral bangsa tersebut. Indonesia harus menghindari diplomasi transaksional, dan mengambil posisi sebagai juru bicara dunia Islam, dan memimpin usaha-usaha multilateral untuk menuntut keterbukaan, melindungi kebudayaan Uyghur, dan memperjuangkan hak asasi manusia. Ini bukan hanya tentang masa depan Uyghur, tetapi pertaruhan tatanan hak asasi manusia secara global.
Diterjemahkan oleh Pusat Studi Uyghur.
Sumber artikel: https://www.aspistrategist.org.au/indonesia-has-a-moral-imperative-to-act-on-uyghur-persecution/
Copyright Center for Uyghur Studies - All Rights Reserved