Etnis Uyghur merupakan etnis yang secara independen dan otonom memiliki dan mengembangkan identitas kebudayaannya sendiri sejak ratusan tahun yang lalu. Namun, di bawah otoritas pemerintah China, eksistensi dan masa depan etnis Uyghur dan komunitas minoritas lainnya di Turkistan Timur—yang oleh pemerintah China dinamai “Xinjiang“—berada dalam ancaman yang nyata. Ancaman terhadap keberadaan dan keberlangsungan hidup etnis Uyghur ini telah dilakukan oleh berbagai macam cara, mulai dari migrasi masif etnis Han ke Xinjiang—yang secara dramatis berhasil merubah komposisi demografi di Xinjiang—hingga pembangunan kamp konsentrasi—yang oleh pemerintah China dipropagandakan ke dunia luar sebagai lembaga pendidikan vokasi.
Buku ini menyajikan ancaman eksistensial lainnya yang dihadapi etnis Uyghur, khususnya generasi anak-anak Uyghur, yaitu “sistem sekolah berasrama“. Ketika mendengar istilah “sekolah berasrama“ kita tentu saja secara spontan beranggapan bahwa sekolah tersebut merupakan tempat anak-anak mendapatkan pendidikan dan pembinaan kedisiplinan penuh, mulai dari aktivitas bangun tidur di pagi hari hingga tidur kembali di malam hari. Kegiatan anak-anak di asrama berisi kegiatan positif yang mendorong perkembangan kecerdasan, keterampilan, dan bakat anak-anak untuk tumbuh menjadi generasi yang berkualitas di kemudian hari.
Sayangnya, “sekolah berasrama“ yang beroperasi di Xinjing justru berusaha membuat anak-anak Uyghur menjauh dari asal-usul identitas dan kebudayaan etnisnya sendiri. Mereka ditempatkan di “sekolah berasrama“ tersebut dengan paksaan dan dididik untuk menjauh dan terputus dari ikatan keluarga dan kebudayaannya masyarakatnya. Tidak sebagaimana “sekolah berasrama“ lainnya, dimana orang tua secara terjadwal bisa mengetahui kondisi, bahkan menjenguk anak-anaknya, di “sekolah berasrama“ ini, anak-anak dijauhkan dari orang tuanya, komunikasi diputus—bahkan sebagian orang tua mereka memang sudah ditahan atau ditempatkan di kamp.
Di “sekolah berasrama“ ini, anak-anak dari usia sekolah dasar, dilarang untuk menggunakan bahasa ibu mereka sendiri—bahasa Uyghur—dan diajari bahwa orang tua mereka sendiri adalah “musuh negara“. Mereka dididik untuk hanya setiap pada negara dan memutuskan hubungan, baik secara emosional maupun kultural, dengan keluarga dan masyarakat tempat mereka berasal. Strategi ini tentu saja tampak lebih efektif untuk menghilangkan sebuah etnis (ethnic cleansing), sebab anak-anak lah yang akan menjadi penerus keberadaan sebuah etnis kebudayaan. Jika anak-anak dari sebuah etnis tidak lagi dapat mengembangkan dan melestarikan bahasa, tradisi, dan agama etnis tersebut, maka ancaman terhadap keberlangsungan etnis tersebut adalah hal yang nyata di depan mata. Inilah yang oleh para pakar dan hukum internasional disebut sebagai genosida budaya (cultural genocide).
Buku kecil ini berisi 4 pembahasan utama, yaitu (1) pembahasan tentang asal-usul kebijakan asimilasi pemerintah China terhadap Uyghur, termasuk dalih kontra-terorisme dan ekstremisme yang digunakan pemerintah China pasca peristiwa 9/11, (2) pembahasan utama mengenai implementasi kebijakan “sekolah berasrama”, (3) dampak yang muncul akibat kebijakan ini, termasuk kurikulum dan model ‘pendidikan’ di “sekolah berasrama” ini, (4) kesaksian dari anak-anak penyintas “sekolah berasrama”, yang tidak hanya menjadi bukti shahih atas keberadaan “sekolah berasrama” ini, tetapi juga sepatutnya membangkitkan rasa kemanusiaan kita untuk ikut peduli pada isu ini. Buku kecil ini ditutup dengan pandangan hukum internasional terhadap kebijakan ini, yang telah memenuhi kriteria “genosida budaya”, dan ajakan untuk ikut membangkitkan kepedulian, atas nama solidaritas kemanusiaan, masyarakat internasional atas apa yang dihadapi oleh etnis Uyghur.
Selamat membaca!
Laporan tersebut dapat dibaca dan diunduh di bawah ini:
Copyright Center for Uyghur Studies - All Rights Reserved