• Washington DC
Follow Us:

Panel PBB: Genosida Uyghur Adalah Lambang Islamofobia yang Disahkan Negara

Siaran Pers CUS

Untuk Segera Dirilis

8 Juli 2024

Contact@uyghurstudy.org

Uyghurstudy.org

Pada tanggal 5 Juli 2024, Pusat Studi Uyghur (CUS) menyelenggarakan diskusi panel bertajuk “Melawan Islamofobia di Asia: Dari Kesadaran ke Aksi” sebagai bagian dari Sidang ke-56 Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, bersama CAP Liberté de Conscience dan Campaign for Uyghurs. Panel tersebut mencakup para ahli dan aktivis dari berbagai negara, termasuk Anggota Parlemen Turki Ayyuce Turkes, Khairul Anwar Ismail, mantan Wakil Presiden Gerakan Pemuda Muslim Malaysia (ABIM), Adlan Athori, Sekretaris Jenderal Pemuda OKI Indonesia, Thierry Valle, Presiden CAP Liberté de Conscience, Rushan Abbas, Direktur Eksekutif Campaign for Uyghurs, dan Abdulhakim Idris, Direktur Eksekutif CUS. Para panelis membahas meningkatnya ancaman Islamofobia di Tiongkok, dengan menawarkan berbagai perspektif.

Direktur Eksekutif Abdulhakim Idris menyoroti kebijakan Islamofobia konkret PKT di Turkistan Timur, dengan menyatakan, “Kebijakan genosida rezim Tiongkok di tanah air Uyghur adalah lambang Islamofobia yang disetujui negara. Semua praktik Islam telah dikriminalisasi, yang mengakibatkan jutaan Muslim Uyghur ditahan di kamp konsentrasi dengan dalih ‘pendidikan ulang.’ Sejak 2014, ribuan masjid telah dihancurkan, ditutup, atau dialihfungsikan. Pemerintah Tiongkok telah membakar Al-Quran dan menghancurkan materi keagamaan. Pada 2017, sebuah dokumen pemerintah menyebut Islam sebagai ‘penyakit mental’ yang harus diberantas. Di bawah label ‘Sinisisasi,’ adat istiadat Uyghur dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma Tiongkok, dan bahkan unsur-unsur Islam dihilangkan dari arsitektur Uyghur. Singkatnya, orang Uyghur ditolak haknya untuk menjalankan agama mereka di bawah kebijakan Islamofobia Tiongkok.”

Mohd Khairul Anwar Ismail, seorang pengacara Malaysia dan mantan Wakil Presiden Gerakan Pemuda Muslim Malaysia (ABIM), menggarisbawahi kebijakan Islamofobia Tiongkok terhadap orang-orang Uyghur. Ia menyatakan, “Perlakuan pemerintah Tiongkok terhadap Muslim Uyghur adalah salah satu contoh Islamofobia yang paling parah. Orang-orang Uyghur telah menjadi sasaran penahanan massal dalam apa yang disebut pemerintah sebagai ‘kamp pendidikan ulang,’ yang juga mencakup kerja paksa, sterilisasi paksa, dan kekejaman lainnya. Penganiayaan sistematis terhadap orang-orang Uyghur ini telah diakui sebagai genosida oleh berbagai negara dan badan internasional.”

Adlan Athori, Sekretaris Jenderal Pemuda OKI Indonesia, menekankan pentingnya negara-negara Muslim menanggapi Genosida Uyghur. “Sebagai negara Muslim, Indonesia bertanggung jawab untuk menanggapi krisis Uyghur sesuai dengan prinsip-prinsip solidaritas dan persaudaraan. Kita harus menentang pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang-orang Uyghur dan menyerukan penyelesaian secara damai.”

Peristiwa ini memberikan kesempatan langka untuk menyoroti kebijakan Islamofobia pemerintah Tiongkok di Perserikatan Bangsa-Bangsa, topik penting yang telah diabaikan selama bertahun-tahun. Seperti yang dicatat oleh Direktur Eksekutif Abdulhakim Idris, “Ketika Islamofobia disebutkan, Tiongkok jarang muncul di benak orang. Alasannya adalah Tiongkok telah berhasil menutupi kebijakan Islamofobia dan penganiayaan agama terhadap Muslim selama beberapa dekade.”

Tahun lalu, CUS menerbitkan laporan “Islamofobia di Tiongkok dan Sikap Negara-negara Muslim” untuk menarik perhatian pada topik ini. Laporan tersebut mengkaji kebijakan Islamofobia sistemik dan historis PKT sejak 1949, yang ditujukan untuk “menjadikan Islam dan Muslim sebagai bagian dari Tiongkok”. Laporan tersebut merinci perang Tiongkok terhadap Islam di Turkistan Timur selama tujuh dekade terakhir, terutama dalam beberapa tahun terakhir, dan mengungkap kampanye disinformasi dan propaganda Tiongkok untuk mencegah kemarahan Muslim global. Laporan tersebut diakhiri dengan menyoroti kegagalan OKI untuk mengatasi genosida Uyghur dan sikap negara-negara mayoritas Muslim terhadap masalah tersebut. Tersedia dalam bahasa Arab, Inggris, Turki, Rusia, Melayu, dan Indonesia.

Post navigation

Copyright Center for Uyghur Studies - All Rights Reserved