Islam mulai dipeluk secara luas oleh bangsa Uighur sejak abad ke-10 ketika salah satu penguasa dari Dinasti Karakhanid, Satuq Bughra Khan masuk Islam. Saat bertahta, Satuq sangat berjasa dalam proses penyebaran Islam di wilayah Xinjiang selatan. Islam semakin meluas di Xinjiang setelah Satuq meninggal karena anak cucunya terus melanjutkan perjuangan dakwah Islam. Mereka juga terus melebarkan kekuasaan Islam hingga ke Khotan, sebuah kerajaan Buddha yang bertetangga dengan Karakhanid.
Sementara itu, Kota Kashgar yang termasuk wilayah bangsa Uighur adalah kota kuno penting di jalur sutera yang menjadi tempat perjumpaan berbagai kebudayaan dunia dan telah menghubungkan negeri-negeri Islam baik di kawasan Arab-terutama Irak- Turki, maupun Persia dengan wilayah Cina di Timur. Posisi inilah yang kemudian membentuk corak keberagamaan bangsa Uighur dipengaruhi oleh wilayah-wilayah tersebut.
Mereka Bermazhab Hanafi
Saat ini mayoritas bangsa Uighur secara fiqih mengamalkan mazhab Hanafi. Hal ini bisa dipahami sebab sejak berabad-abad silam jalur sutera yang menghubungkan Cina dengan kawasan Timur Tengah dan Eropa melewati kawasan yang ditempati bangsa Uighur. Kasghar dan dan kota-kota lain di wilayah yang kini masuk Daerah Otonomi Xinjiang adalah tempat tempat transit dari negeri-negeri jalur sutera yang masyarakatnya bermazhab hanafi seperti Irak, Turki, Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakhstan, dan Pakistan. Karena secara geografis kawasan Turkistan Timur ini bertetangga dan juga dilalui oleh jalur niaga dari negeri-negeri bermazhab hanafi, maka sangat masuk akal jika corak Islam yang berkembang di sana tidak dapat dipisahkan dari corak Islam yang berkembang di wilayah-wilayah sekitarnya.
Selain faktor tersebut, keadaan geografis, sosial, budaya,dan politik di Turkistan Timur ini juga membuat mazhab hanafi dianggap cocok dengan bangsa Uighur. Mazhab hanafi dianggap mazhab paling rasional dan praktis dibanding mazhab-mazhab fiqih lainnya dalam Islam. Lahir dan berkembang di kota metropolis Baghdad di Irak, mazhab hanafi memiliki karakter paling menekankan pentingnya akal dalam menjalankan fiqih (ahl ra’yu) dibanding mazhab lainnya yang lebih menekankan pada teks hadist (ahl hadits).
Karakter ini memungkinkan ketentuan-ketentuan fiqih dapat menyesuaikan berbagai dinamika dalam masyarakat seperti keadaan geografis, sosial, politik, dan budaya.Dalam keadaan umat Islam Uighur yang berada dalam kontrol negara Cina yang melakukan banyak pembatasan terhadap agama, bisa jadi mazhab hanafi lebih mudah diamalkan hingga dapat bertahan sampai saat ini.
Lekat dengan Tasawuf
Di antara yang paling berperan dalam proses Islamisasi bangsa Uighur adalah gerakan Tasawuf. Ahmad Yasawi yang lahir di Yasi yang saat ini terletak di kawasan Xinjiang yang dekat dengan perbatasan Kazakhstan dan meninggal pada awal abad ke-13 dianggap sebagai tokoh sufi paling awal bagi bangsa Turkic di Asia Tengah. Syair-syairnya hingga saat ini masih sering dilantunkan oleh para sufi Uighur. Ada juga Apaq Khoja, seorang pemimpin kelompok sufi Naqsabandiyah yang sangat berpengaruh bagi kaum sufi Uighur. Ia menaklukan Kashgar dan Yarkand pada tahun 1680 dan mendirikan sebuah rezim politik-relijius yang berdasarkan pada ideologi Naqsabandiyah. Disebutkan bahwa secara finansial, rezim ini bergantung kepada donasi dan pajak.
Wujud dari pengaruh tasawuf yang sangat menonjol dalam masyarakat Uighur adalah peran para Khwaja, atau para Sufi yang diklaim memiliki garis keturunan dan sanad keilmuan kepada Rasulullah dan beberapa khalifah awal. Lipidus dalam The History of Islamic Societies menyebut bahwa kebanyakan dari khwaja adalah para wali pengelana, tabib, dan tokoh-tokoh agama yang dianggap memiliki karomah. Secara bertahap para khwaja ini memiliki pengaruh spiritual lebih kuat daripada para penguasa sekuler. Mereka juga menjadi murid dari beberapa tokoh sufi terkenal. Misalnya, seorang guru Sufi di Bukhara menjadi guru bagi para khwaja di Kashgar dan Yarkand.
Ketika Khan Chaghatay, Khawaja, dan kepala suku-suku lokal memerintah Turkistan Timur, berdirilah sebuah imperium baru Oirat-Mongol yang merupakan imperium besar bangsa nomadic Asia Tengah yang paling akhir yang dinamakan konfederasi Dzungarian. Imperium ini dikatakan menganut kepercayaan Lamaisme Tibetan. Namun dalam menjalankan pemerintahan, mereka mengangkat para Khwaja sebagai kaki tangan mereka. Melalui persekutuan dengan penguasa agama dan politik muslim di Kashgar dan Yarkand, Dzungarian berhasil merebut kota-kota Oasis di Turkistan Timur dengan memberikan kekuasaan untuk wilayah itu kepada para Khwaja.
Sayangnya, ekspansi Dzungarian di wilayah-wilayah Turkistan Timur memancing intervensi bangsa Cina. Cina memang telah lama memandang Kawasan Asia Tengah sebagai wilayahnya. Pada tahun 1759 bangsa Cina mengalahkan Dzungarian. Mereka merebut kota-kota Oasis, mengusir para Khwaja, dan merebut Turkistan Timur. Setelah itulah bangsa Uighur berada dalam cengkeraman penjajahan Cina hingga saat ini.
Hingga saat ini Naqsabandiyah masih dominan di kalangan bangsa Uighur. Tetapi, hampir sulit membedakan antara satu aliran tasawuf dengan aliran lainnya karena batasan-batasan di antara mereka tidak begitu tajam. Karena penyebaran Islam di Uighur lebih banyak dipengaruhi oleh tasawuf inilah umat Islam di sana tidak terlalu peduli dengan perbedaan mazhab. Bahkan mereka hampir tidak tahu jika mazhab fiqih yang mereka amalkan adalah hanafi. Lebih jauh lagi, sekalipun mereka adalah kaum sunni, mereka tidak begitu peduli apa perbedaan sunni dengan syiah.
Sekalipun sufisme adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bangsa Uighur, tetapi beberapa peniliti mengaku kesulitan untuk melakukan wawancara dengan para imam di wilayah Kasghar dan Urumqi. Mereka sangat tertutup karena bisa jadi khawatir atas tindakan represif pemerintah. Kenyataan bahwa beberapa kelompok sufi pernah terlibat dalam gerakan nasionalisme Turkistan Timur dalam kurun 1928-2004 bisa jadi membuat pemerintah Cina menandai kelompok-kelompok sufi sebagai kelompok yang dianggap berpotensi radikal dan separatis. Hal ini membuat mereka semakin menutup diri karena takut identitasnya terekspos.
Seorang peniliti mengaku pernah mewawancarai pemuda-pemuda muslim Uighur. Di antara mereka ada yang sama sekali tidak tertarik dengan sejarah Islam di Uighur. Sementara yang lainnya mengaku tidak tahu menahu tentang tasawuf di masyarakat Uighur. Hal ini bisa jadi para generasi muda Uighur telah mengalami krisis identitas akibat upaya sistematis dari pemerintah atau memang mereka tidak tahu tentang apa yang selama ini mereka amalkan. Mereka bisa jadi tidak mengetahui bahwa ritual atau cara hidup yang mereka amalkan sehari-hari adalah bagian dari apa yang kita sebut “tasawuf”.
Keberagamaan Bangsa Uighur Di Bawah Rezim Cina
Dalam konstutusi Cina, agama bukanlah hal yang penting karena dianggap hanya menyangkut ranah privat. Ekspresi keberagamaan tidak boleh kentara di ruang publik. Pemerintah bisa dikatakan tidak peduli terhadap agama kecuali nilai-nilai dari sebuah agama menguntungkan politik atau negara. Akibat dari sikap pemerintah ini adalah kesulitan muslim Cina termasuk bangsa Uighur untuk menjalankan agama secara bebas.
Ada semacam upaya sistematis dari pemerintah yang berupaya untuk mengikis semangat keberagamaan bangsa Uighur. Di antaranya adalah kapitalisasi dan industrialisasi yang menuntut pekerja Muslim untuk bekerja esktra dengan disiplin tinggi sehingga kesulitan untuk melaksanakan shalat. Kebijakan terikini yang diterapkan pemerintah Cina berupa kamp-kamp indoktrinasi dianggap semakin membatasi muslim Uighur dalam menjalankan agamanya. Kamp yang oleh pemerintah Cina sebagai “Pendidikan Vokasi” ini disebut-sebut berbagai media sebagai kamp indoktrinasi yang tujuan utamnya untuk menghilangkan identitas bangsa Uighur dan melakukan sinifikasi.
Sumber artikel: https://retizen.republika.co.id/posts/319441/corak-keberagamaan-bangsa-uighur/
Copyright Center for Uyghur Studies - All Rights Reserved