Asia Tenggara merupakan wilayah dengan populasi Muslim yang signifikan, termasuk negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, dan sebagian wilayah di Filipina dan Thailand. Melihat dari kacamata masa lalu hubungan antara Asia Tenggara dan Tiongkok telah terjalin selama berabad-abad, melalui jalur perdagangan maritim dan darat, pertukaran budaya, dan interaksi politik. Pada masa lampau, Kerajaan Majapahit di Indonesia dan Dinasti Ming di Tiongkok, telah menjalin hubungan diplomatik yang erat dan saling menguntungkan. Pada abad ke-15, penjelajah Tiongkok yang bernama Cheng Ho, ia menjelajahi wilayah Asia Tenggara, dengan tujuan untuk memperkuat hubungan antara kedua wilayah tersebut.
Hubungan Diplomatik Negara Anggota ASEAN dengan China
Dalam era modern, hubungan ekonomi antara Negara anggota ASEAN dan Tiongkok semakin kuat, terutama sejak pembukaan ekonomi Tiongkok pada tahun 1978. Tiongkok telah menjadi mitra perdagangan bagi banyak negara di Asia Tenggara, dengan investasi yang signifikan dalam infrastruktur, industri, dan sumber daya alam di kawasan tersebut. Selain itu, hubungan politik antara Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara semakin erat melalui forum-forum regional seperti ASEAN (Association of Southeast Asian Nations).
Hubungan diplomatik antara Negara anggota ASEAN dengan Tiongkok dimulai sejak tahun 1991, tepatnya pada Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN ke-24, Menteri Luar Negeri Tiongkok saat itu memberikan pernyataan bahwa Tiongkok memiliki minat yang besar untuk dapat bekerja sama dengan ASEAN, untuk mendapatkan keuntungan bersama. Sedangkan, untuk diplomasi ekonomi antara Tiongkok dan ASEAN, Tiongkok menjadi mitra dagang terbesar untuk ASEAN sejak tahun 2009.
Negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Tiongkok. Tiongkok menjadi salah satu sumber investasi asing terbesar bagi kedua negara ini dan menjadi pemain ekonomi utama di Asia Tenggara melalui proyek-proyek infrastruktur besar, seperti jalur kereta cepat dan pelabuhan yang dibiayai oleh Belt and Road Initiative (BRI), investasi Tiongkok tersebut sangat penting bagi pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Ketergantungan ekonomi ini membuat Tiongkok sebagai Negara yang memiliki pengaruh signifikan dalam kebijakan luar negeri negara-negara Asia Tenggara.
Sikap Muslim di Negara ASEAN terhadap Isu Kemanusiaan Uighur
Isu terkait etnis Uighur di kalangan masyarakat ASEAN sangat sensitif untuk dibicarakan, apalagi menyuarakan dan mendukung akan hal isu tersebut. Melihat dari kerjasama yang dilakukan oleh Tiongkok sangat masif di negara-negara ASEAN. Hukum, Politik, dan Ekonomi selalu menjadi isu propaganda Pemerintah Tiongkok untuk mempengaruhi kebijakan terhadap hubungan negara-negara lain. Membuat negara ASEAN tidak berani salah langkah untuk bermain-main dengan Tiongkok. Hal ini dilakukan negara dengan adanya populasi muslim di negaranya untuk melangkah dengan cara Diplomasi Lunak (Soft Diplomacy) untuk bisa berpihak di kedua sisi tanpa mencederai dan merusak hubungan kerjasama yang telah dilakukan sejak lama. Ditambah lagi masing-masing negara ASEAN selalu mempunyai cara yang unik dalam menyikapi politik luar negeri. Kepentingan kebijakan luar negeri yang bebas aktif, seharusnya membuat negara dapat memihak kepada kebenaran dan tidak dapat diintervensi oleh pihak luar. Kemandirian dan integritas sebuah negara akan selalu dipertanyakan dalam menyikapi isu-isu global.
Di tengah meningkatnya pengaruh ekonomi dan politik Tiongkok di Asia Tenggara, komunitas Muslim di wilayah ini menemukan diri mereka berada dalam posisi yang kompleks dan sering kali dilematis. Meskipun Tiongkok merupakan mitra dagang utama dan sumber investasi besar bagi negara-negara Asia Tenggara, kebijakan domestik Tiongkok terhadap komunitas Muslim Uighur di Xinjiang memunculkan pertanyaan moral yang sulit diabaikan oleh negara-negara dengan populasi Muslim yang signifikan. Dinamika hubungan antara negara-negara Muslim di Asia Tenggara dan Tiongkok, serta implikasi bagi kebijakan luar negeri dan hak asasi manusia, menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan.
Di balik kerjasama ekonomi ini, terdapat isu hak asasi manusia yang mencolok, yaitu perlakuan terhadap komunitas Muslim Uighur di Xinjiang. Laporan-laporan mengenai penahanan massal, pengawasan ketat, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya telah memicu kekhawatiran global. Negara-negara Muslim di Asia Tenggara, meskipun menghadapi tekanan domestik untuk mengambil sikap tegas, namun pemerintah mereka sering kali memilih sikap diam atau respons yang moderat terhadap isu ini, karena ketergantungan ekonomi yang besar pada Tiongkok.
Namun, di sisi lain. Negara-negara di Asia Tenggara yang memiliki populasi Muslim yang besar, umumnya mereka memiliki rasa simpati terhadap penderitaan Muslim Uighur di Xinjiang. Laporan tentang penahanan massal, pengawasan ketat, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh etnis Uighur telah memicu reaksi emosional dan protes di kalangan masyarakat Muslim di Asia Tenggara. Masyarakat tersebut, menuntut pemerintah mereka untuk mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Tiongkok atas isu hak asasi manusia yang terjadi terhadap etnis Uighur di Xinjiang.
Sayangnya, reaksi pemerintah Asia Tenggara terhadap krisis kemanusiaan di Uighur sering kali terkesan lemah dan ambigu. Indonesia dan Malaysia, misalnya. Sering kali, kedua negara ini berusaha untuk menghindari kritik langsung terhadap Tiongkok dan lebih memilih pendekatan diplomatik yang hati-hati. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk ketergantungan ekonomi, kekhawatiran tentang balasan diplomatik dari Tiongkok, serta kebutuhan untuk menjaga stabilitas hubungan bilateral maupun regional yang strategis. Pendekatan ini mencerminkan dilema yang dihadapi oleh banyak negara di Asia Tenggara: bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan komitmen terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Selain itu, ada juga tantangan internal yang dihadapi oleh pemerintah Asia Tenggara dalam mengelola sentimen publik yang kuat terhadap isu Uighur. Di satu sisi, mereka perlu menjaga hubungan baik dengan Tiongkok untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Akan tetapi di sisi lain, mereka harus merespon tekanan dari masyarakat domestik yang menuntut solidaritas dengan saudara Muslim mereka di Xinjiang. Kegagalan untuk mengatasi isu ini dengan tepat dapat memicu ketidakpuasan dan protes di dalam negeri, yang berpotensi mengganggu stabilitas politik dalam negeri. Situasi ini menciptakan kebijakan luar negeri yang cenderung bersifat pragmatis dan diplomatis, dengan fokus pada menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab moral.
Dalam konteks ini, penting bagi negara-negara Muslim di Asia Tenggara untuk mencari pendekatan yang lebih seimbang dan prinsipil dalam menghadapi isu Uighur. Mereka dapat memperkuat kerja sama regional dan internasional untuk mendorong dialog konstruktif dengan Tiongkok, sambil tetap menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dukungan dari komunitas internasional dan organisasi multilateral juga diperlukan untuk memberikan tekanan terhadap pemerintahTiongkok agar menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.
Negara-negara Muslim di Asia Tenggara menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan rasa persaudaraan dan simpati mereka terhadap sesama Muslim. Dukungan yang lemah atau ambigu terhadap isu Uyghur dapat menciptakan persepsi bahwa mereka mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia demi keuntungan ekonomi. Ini juga dapat mempengaruhi citra internasional mereka dan hubungan dengan negara-negara lain yang lebih vokal dalam mendukung hak-hak kemanusiaan untuk etnis Uighur.
Meskipun hubungan Asia Tenggara-Tiongkok telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir, isu Uighur sering kali tidak mendapatkan perhatian yang layak dalam konteks hubungan ini. Salah satu alasan utamanya adalah karena keterkaitan politik dan ekonomi yang kuat antara Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara, yang mungkin menghambat negara-negara tersebut untuk mengkritik atau menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.
—
Copyright Center for Uyghur Studies - All Rights Reserved