By Abdulhakim Idris
23 Januari 2025
Para pengungsi Uyghur, yang ditahan di penjara Thailand selama lebih dari satu dekade, kini menghadapi ancaman deportasi ke Tiongkok, negara yang dikenal melakukan genosida terhadap Muslim Uyghur. Dengan ancaman deportasi yang semakin dekat, komunitas internasional berada di persimpangan jalan. Nasib 48 orang ini telah menjadi ujian bagi hak asasi manusia di Asia Tenggara, dengan implikasi yang luas yang melampaui batas-batas Thailand dan Tiongkok. Di jantung krisis ini terdapat sebuah pertanyaan mendasar: Apakah dunia akan berdiam diri ketika orang-orang ini dikirim kembali untuk menghadapi penganiayaan yang hampir pasti terjadi, atau akankah dunia bangkit untuk menegakkan prinsip-prinsip martabat dan keadilan manusia?
Urgensi dari situasi ini tidak dapat dilebih-lebihkan. Perkembangan terbaru telah mengirimkan gelombang kejut ke seluruh diaspora Uyghur dan organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia. Pada 10 Januari 2025, orang-orang Uyghur yang ditahan memulai mogok makan setelah disodori formulir “pemulangan sukarela” – sebuah pendahuluan yang terselubung dari pemulangan paksa. Permohonan mereka, yang terekam dalam sebuah surat yang diperoleh oleh media internasional, sangat menyayat hati: “Kami bisa menghadapi hukuman penjara, dan bahkan mungkin kehilangan nyawa. Kami memohon dengan sangat kepada semua organisasi internasional dan negara-negara yang peduli terhadap hak asasi manusia untuk segera turun tangan menyelamatkan kami dari nasib tragis ini sebelum terlambat.”
Krisis ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi Malaysia, yang akan menjadi ketua ASEAN pada bulan Januari 2025. Sebagai negara mayoritas Muslim dengan sejarah advokasi untuk komunitas Muslim yang tertindas di seluruh dunia, Malaysia berada dalam posisi yang unik untuk memimpin tanggapan regional terhadap keadaan darurat kemanusiaan ini. Perdana Menteri Anwar Ibrahim, yang telah lama dikenal karena komitmennya terhadap keadilan dan hak asasi manusia, kini menghadapi saat-saat penting dalam kepemimpinannya.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Tiongkok telah meluncurkan apa yang oleh banyak pengamat internasional digambarkan sebagai genosida terhadap Uyghur. Penindasan ini meluas jauh melampaui kamp-kamp konsentrasi. Orang Uyghur di tanah air mereka hidup di bawah pengawasan konstan, setiap gerakan mereka dipantau oleh jaringan kamera dan pos pemeriksaan polisi yang padat. Praktik-praktik keagamaan, mulai dari menumbuhkan jenggot hingga memberikan nama tertentu kepada anak-anak, telah dilarang atau sangat dibatasi. Bahasa Uyghur telah dipinggirkan di sekolah-sekolah, dan situs-situs keagamaan secara sistematis dihancurkan atau diubah fungsinya. Dengan latar belakang penganiayaan yang semakin meningkat inilah, orang-orang mengambil keputusan yang menyayat hati untuk meninggalkan tanah air mereka. Perjalanan ini penuh dengan bahaya, karena pengaruh Tiongkok meluas jauh melampaui perbatasannya. Orang-orang Uyghur yang mencoba melarikan diri menghadapi ancaman terus-menerus untuk dikembalikan di bawah tekanan dari Beijing.
Bagi 48 orang yang ditahan di Thailand, upaya mereka untuk bebas terhenti pada tahun 2014. Pihak berwenang Thailand menangkap mereka di dekat perbatasan Malaysia, bagian dari kelompok yang lebih besar yang terdiri dari lebih dari 350 orang Uyghur yang berusaha mencapai Turki – negara yang memiliki ikatan budaya yang kuat dengan orang-orang Uyghur dan memiliki kebijakan yang lebih ramah terhadap mereka. Tahun-tahun sejak penahanan mereka ditandai dengan kesulitan yang tak terbayangkan. Dikurung dalam sel yang penuh sesak di Pusat Penahanan Imigrasi (IDC) yang terkenal kejam di Bangkok, para pria ini telah mengalami kondisi yang oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia digambarkan sebagai “tidak manusiawi”. Kurangnya makanan yang memadai, sanitasi yang buruk, dan akses terbatas ke perawatan medis telah berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental mereka. Lima tahanan, termasuk dua anak-anak, telah meninggal dalam tahanan selama satu dekade terakhir.
Ancaman deportasi bukanlah ketakutan yang abstrak. Pada tahun 2015, Thailand secara paksa mengembalikan 109 orang Uyghur ke Tiongkok, sebuah tindakan yang menuai kecaman internasional. Nasib mereka yang dideportasi sebagian besar masih belum diketahui, meskipun laporan-laporan tentang hukuman penjara yang panjang dan penghilangan telah disaring melalui jaringan diaspora Uyghur. Sejarah deportasi ini membayangi krisis yang berkepanjangan. Tindakan pemerintah Thailand baru-baru ini – memberikan formulir “pemulangan sukarela” dan dilaporkan mengambil foto-foto para tahanan – mencerminkan peristiwa yang terjadi sebelum deportasi tahun 2015. Perkembangan ini telah memicu alarm di kalangan organisasi hak asasi manusia dan kelompok-kelompok advokasi Uyghur di seluruh dunia.
Potensi deportasi terhadap 48 orang ini tidak hanya akan menjadi tragedi bagi para individu yang terlibat dan keluarga mereka, namun juga akan menjadi preseden berbahaya dalam hukum internasional. Prinsip non-refoulement, yang tercantum dalam Konvensi Pengungsi tahun 1951, melarang negara untuk mengembalikan individu ke negara di mana mereka menghadapi risiko penganiayaan, penyiksaan, atau pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Meskipun Thailand bukan penandatangan Konvensi Pengungsi, Thailand terikat oleh hukum internasional dan perjanjian hak asasi manusia lainnya yang memasukkan prinsip non-refoulement. Selain itu, Thailand memiliki hukum domestiknya sendiri yang melarang penyiksaan dan penghilangan paksa, yang akan dilanggar dengan mengembalikan orang Uyghur ke Tiongkok. Peran Tiongkok dalam drama yang sedang berlangsung ini tidak dapat diabaikan. Beijing secara konsisten menekan negara-negara di Asia Tenggara dan sekitarnya untuk mengembalikan orang-orang Uyghur, dan sering kali menuduh mereka sebagai ekstremis tanpa memberikan bukti. Tekanan ini merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mengendalikan narasi seputar Turkistan Timur dan untuk mencegah orang-orang Uyghur berbagi pengalaman mereka dengan dunia luar.
Dalam menghadapi krisis ini, semua mata tertuju pada Malaysia dan ASEAN. Sebagai ketua blok regional saat ini, Malaysia memiliki posisi yang unik untuk memimpin respon terkoordinasi terhadap ancaman yang dihadapi para tahanan Uyghur di Thailand. Perdana Menteri Anwar Ibrahim, yang telah lama memposisikan dirinya sebagai pejuang hak asasi manusia dan solidaritas Muslim, kini menghadapi ujian kritis atas kepemimpinannya. Pertaruhan bagi Malaysia sangat tinggi. Bagaimana Malaysia menanggapi krisis ini tidak hanya akan berdampak pada kehidupan 48 orang Uyghur di Thailand, tetapi juga akan menentukan sikapnya sebagai ketua ASEAN dan perannya yang lebih luas di panggung internasional. Sikap yang kuat dalam membela Uyghur akan menegaskan kembali komitmen Malaysia terhadap hak asasi manusia dan berpotensi menginspirasi negara-negara lain untuk mengambil tindakan serupa.
Identitas Muslim Malaysia menambah lapisan tanggung jawab lain terhadap perannya dalam krisis ini. Sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di Asia Tenggara, Malaysia telah sering menyuarakan penindasan terhadap komunitas Muslim di seluruh dunia. Penderitaan Uyghur – minoritas Muslim yang menghadapi penindasan agama dan budaya – menghadirkan keharusan moral yang jelas bagi kepemimpinan Malaysia.
Namun, jalan ke depan bukannya tanpa tantangan. Malaysia, seperti banyak negara lain di kawasan ini, harus menyeimbangkan komitmen hak asasi manusianya dengan hubungan ekonomi dan diplomatiknya dengan Tiongkok. Pengaruh ekonomi Beijing di Asia Tenggara sangat besar, dan setiap tindakan yang dianggap konfrontatif dapat menimbulkan dampak yang signifikan. Namun, justru pada saat-saat sulit seperti itulah kepemimpinan sejati terungkap. Perdana Menteri Anwar Ibrahim memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dapat menang di atas kemanfaatan, bahwa pembelaan terhadap hak asasi manusia bukan hanya sekedar retorika, tetapi merupakan landasan kebijakan luar negeri Malaysia.
Tanggapan terhadap krisis ini harus memiliki banyak aspek. Pertama dan terutama, Malaysia harus menggunakan posisinya sebagai ketua ASEAN untuk mengadakan pertemuan darurat di blok tersebut untuk mengatasi ancaman deportasi yang akan segera terjadi. Pertemuan ini harus menghasilkan sebuah pernyataan yang kuat dan terpadu yang mengutuk pemulangan paksa warga Uyghur ke Tiongkok dan menyerukan kepada Thailand untuk menjunjung tinggi kewajiban internasionalnya. Malaysia dan ASEAN harus terlibat dalam diplomasi tingkat tinggi dengan Thailand, menawarkan dukungan dan sumber daya untuk menemukan solusi alternatif bagi warga Uyghur yang ditahan. Hal ini dapat melibatkan kerja sama dengan organisasi internasional seperti UNHCR untuk memfasilitasi pemukiman kembali ke negara ketiga yang bersedia menerima pengungsi Uyghur.
Meskipun telah ada kecaman internasional selama bertahun-tahun dan rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Thailand untuk membebaskan dan memukimkan kembali para tahanan, pihak berwenang Thailand tidak kunjung bertindak. Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), yang dipengaruhi oleh tekanan dari Tiongkok, juga ragu-ragu untuk memberikan bantuan, dan menolak untuk memberikan status pengungsi kepada orang-orang Uyghur ini. Kelambanan ini melemahkan perlindungan internasional yang dimaksudkan untuk melindungi individu-individu yang rentan, seperti Konvensi Menentang Penyiksaan dan Undang-Undang Anti-Penyiksaan Thailand sendiri-kerangka kerja hukum yang dirancang untuk mencegah kekejaman seperti ini. Namun, perlindungan ini telah diabaikan, membuat para tahanan Uyghur ditinggalkan dalam nasib yang tidak pasti dan berbahaya. Dunia harus menyadari ketidakadilan yang serius ini dan bertindak tegas untuk menjamin pemukiman kembali mereka di negara ketiga di mana mereka dapat menemukan keamanan dan martabat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia, harus mengambil peran yang lebih aktif dalam memantau situasi dan mengadvokasi hak-hak orang Uyghur yang ditahan. Negara-negara yang memiliki program pemukiman kembali pengungsi, termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, harus mempercepat pemrosesan kasus-kasus Uyghur untuk memberikan kesempatan bagi mereka mendapatkan masa depan yang lebih baik. Selain itu, organisasi masyarakat sipil dan media harus memperkuat isu ini, memastikan isu ini tetap menjadi perhatian publik. Dengan menyediakan platform untuk suara-suara Uyghur dan mengungkap ketidakadilan yang mereka hadapi, tekanan publik dapat dihasilkan untuk memaksa pemerintah dan badan-badan internasional untuk mengambil tindakan yang berarti. Hanya melalui upaya kolektif dan berkelanjutan, kita dapat mencegah pelanggaran lebih lanjut dan memastikan keadilan bagi orang-orang yang teraniaya ini.
Kami mendesak masyarakat internasional untuk menekan pemerintah Thailand dan mengambil tindakan segera untuk menghentikan deportasi Muslim Uyghur ke Tiongkok. Pemerintah Thailand harus menghentikan rencana deportasi, memberikan UNHCR akses langsung kepada para tahanan, dan menerapkan undang-undang anti-penyiksaan untuk menegakkan hak asasi manusia dan komitmen internasional. UNHCR harus memprioritaskan krisis ini, secara aktif terlibat dengan pihak berwenang Thailand, dan memanfaatkan mandatnya untuk memfasilitasi pemindahan para tahanan ke negara ketiga. Selain itu, komunitas internasional harus memberikan tekanan diplomatik kepada Thailand, menawarkan jalur pemukiman kembali bagi para pengungsi Uyghur, dan meminta pertanggungjawaban Tiongkok atas penindasan transnasionalnya.
Meskipun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan pernyataan yang mendesak pemerintah Thailand untuk tidak mendeportasi para pengungsi Uyghur ke Tiongkok, di mana mereka menghadapi bahaya besar, hal ini tidak cukup. Organisasi-organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia sedang menangani krisis ini, tetapi upaya ini perlu ditingkatkan. Masyarakat sipil Muslim, khususnya di Malaysia, memiliki kewajiban moral untuk mengambil tindakan. Organisasi dan komunitas Muslim Malaysia harus bersatu dan melakukan advokasi tanpa henti, menekan pemerintah mereka untuk melakukan intervensi dan mencegah tragedi kemanusiaan ini. Ini bukan hanya tentang penderitaan pengungsi Uyghur-ini adalah tentang menegakkan keadilan, membela martabat manusia, dan melawan penindasan. Memobilisasi tekanan internasional membutuhkan solidaritas, tindakan tegas, dan komitmen yang teguh dari masyarakat sipil untuk melindungi individu-individu yang rentan dari penganiayaan.
Upaya global sedang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tentang pengungsi Uyghur yang ditahan di Thailand dan menekan organisasi internasional untuk bertindak. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang baru saja dilantik, Bapak Marco Rubio, secara terbuka mendesak pemerintah Thailand untuk membatalkan rencana mendeportasi para pengungsi ini, dengan menyoroti kenyataan mengerikan yang mereka hadapi di Tiongkok, termasuk penyiksaan, pemenjaraan, penghilangan paksa, dan bahkan kematian. Para anggota parlemen dari seluruh dunia juga mengutuk tindakan Thailand, dan menyerukan kepada negara tersebut untuk menjunjung tinggi kewajiban kemanusiaannya. Protes global semakin keras, tetapi harus semakin keras. Nasib orang-orang Uyghur ini berada di tangan pemerintah, organisasi, dan individu yang harus bertindak dengan cepat dan tegas. Nasib mereka bergantung pada tindakan kita bersama, dan kegagalan bukanlah pilihan.
__
Copyright Center for Uyghur Studies - All Rights Reserved