• Washington DC
Follow Us:

Bagaimana Indonesia dan Malaysia Menyikapi Pelanggaran HAM pada Muslim Uighur

Baru-baru ini (27/08/2024), kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kembali menegaskan bahwa laporan mereka tentang adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Muslim Uighur dan beberapa kelompok Muslim di Xinjiang masih ada hingga kini. Sebagaimana termuat dalam laporan itu, pelanggaran HAM ini diduga terjadi sebagai akibat penerapan undang-undang Anti-Terorisme dan beberapa kebijakan lainnya di wilayah Otonomi Khusus di Xinjiang, Tiongkok.

Negara-negara Islam dikritik karena terkesan bungkam. Bahkan, Bradley Jardine menulis tidak sekedar diam, tapi “terlibat”, setelah menyoroti hubungan China dan Arab Saudi yang semakin intens. Ini berbeda dibandingkan sikap mereka terhadap Muslim tertindas di tempat lain, seperti Palestina dan Rohingya. Indonesia dan Malaysia, misalnya sangat tegas dan jelas terhadap terhadap dua kasus ini. Malaysia, bahkan menempatkan dua kasus di atas sebagai isu prioritas dalam kebijakan luar negerinya. Sementara, Indonesia melakukan berbagai upaya diplomatik penting dalam penyelesaian pada dua kasus tersebut.
Tentu saja, ini jauh berbeda dengan sikap Malaysia dan Indonesia terhadap penindasan Muslim Uighur, yang hati-hati dan cenderung diam merespon. Beberapa analisis mengungkapkan bahwa diamnya dua negara ini karena kedekatanya dengan China, apalagi pada sektor ekonomi. Dalam satu dekade terakhir, China juga sedang giat menggunakan Islam dalam diplomasinya untuk membina hubungan baik dengan negara-negara Islam. Dengan Indonesia misalnya, China membina hubungan dekat dengan ormas-ormas Islam, yang pada akhirnya berpengaruh pada lemahnya peran civil society dalam merespon isu ini.
Walau demikian, patut dicatat bahwa meskipun keduanya terlihat diam, baik Indonesia dan Malaysia, mengklaim menaruh perhatian terhadap pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur. Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Indonesia, berkali-kali menyampaikan bahwa Indonesia tidak diam, Ia sebagai representasi pemerintah Indonesia terus menjalin komunikasi dan meminta klarifikasi dari China. Malaysia juga beberapa kali mengeluarkan pernyataan tentang komitmen keberpihakannya kepada Muslim Uighur. Apalagi melalui dua tokoh Muslim, seperti Mahathir Muhammad dan Anwar Ibrahim di pucuk pemerintahan.
Dalam masa pemerintahannya yang kedua (2018-2020), Mahathir menunjukkan sikapnya yang pro-Uighur, namun juga menjaga konfrontasi dengan China. Pendekatannya dinilai rasional menengahi kepentingan Malaysia dengan China di satu sisi, dan keberpihakan terhadap Muslim global (ummah) di sisi lain. Mahathir menyadari bahwa China bukan lawan yang setara, yang bisa dikonfrontasi dengan mudah. Ia memilih lebih selektif dan berhati-hati kapan harus melawan dan menjalin hubungan baik dengan China.

Pada masa pemerintahannya dengan jelas, Mahathir mengatakan bahwa Malaysia tidak akan ikut campur dalam urusan Muslim Uighur. Walau demikian, ia juga menegaskan bahwa akan melindungi Muslim Uighur yang berada di Malaysia. Ia berkomitmen tidak akan mengirim balik mereka ke China. Ini berbeda dengan beberapa negara Islam lain yang mengirimkan balik Muslim Uighur atas permintaan Beijing, seperti Indonesia dan Pakistan.
Selain itu, komitmen kuat juga datang dari Anwar Ibrahim. Apalagi sebelum menjabat sebagai Perdana Menteri pada 2018, Anwar menunjukkan komitmentnya untuk melindungi dan menunjukkan simpatinya kepada Muslim yang tertindas. Ia telah menjadi harapan bagi Muslim Uighurs untuk membantu mereka.
Meskipun kemudian, komitmen Anwar ini sulit terealisasi setelah duduk sebagai PM. Apalagi, di tengah menguatnya hubungan antara China dan Malaysia pada pemerintahannya. Pengamat menyebut bahwa Anwar sedang bermain dua kaki. Mempererat relasi dengan otoritas China dan ingin menunjukkan komitmennya berpihak pada Muslim yang tertindas di sisi lain. Anwar dikenal sebagai salah satu aktivis Muslim yang lantang bersuara menbela Muslim yang tertindas di berbagai wilayah.

Berbeda dengan Malaysia, Indonesia sedikit lebih lunak. Bahkan Zulfikar Rakhmat dan Yeta Purnama, menyebut Indonesia turut membantu persekusi atas Muslim Uighurs melalui dua cara: turut menghentikan rancangan pembahasan tentang pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur di PBB dan Mengirim balik pengungsi Uighur ke China. Memang, Indonesia berada dalam posisi dilematis. Bahkan, Prabowo Subianto, Presiden terpilih, memandang bahwa Indonesia tidak memiliki opsi yang lebih untuk membantu Muslim Uighur. Dalam dialog terbuka yang diadakan Muhammadiyah, Prabowo menyampaikan: “Masalah Uighur, kita bisa bikin apa terhadap Tiongkok, kalau mau berbuat lebih. Tapi secara nyata, sekarang, kita lakukan diplomasi, kontak, engagement. Kita upayakan persahabatan”.
Meskipun, komitmen ini tidak efektif dan jauh dari harapan Muslim. Mereka yang mengingingkan kedua negara ini bertindak lebih jauh, misalnya dengan memanfaatkan kemitraan strategis dengan China atau menyuarakan lebih lantang melalui upaya-upaya diplomatik. Namun, apa daya, secara realistis kita bisa menilai bahwa ada imbalance of power (ketidakseimbangan kekuatan) dalam relasi ini sebagaimana yang disadari Prabowo. Meskipun demikian, komitmen keberpihakan kepada Muslim Uighur yang mengalami penindasan melalui serangkaian pelanggaran HAM harus terus dinyalakan. Indonesia dan Malaysia harus terus menunjukkan komitmen itu.

Sumber artikel: Khaidir Hasram (https://kumparan.com/khaidir-hasram/23Q7FWFAxwC)

Post navigation

Copyright Center for Uyghur Studies - All Rights Reserved